Minggu, 16 Juli 2017

Peliputan Investigasi Tembakau cap Gorilla #2



Menyimak Cerita Mantan Pengedar dan Pemakai Narkoba
Terkait topik investigasi yang kami angkat, maka melalui tulisan ini akan kami sampaikan sebuah cerita yang bersumber langsung dari seorang pecandu sekaligus mantan pengedar narkoba yang sudah berbagi ceritanya kepada kami pada Senin, 10 Juli 2017 lalu. Sebelumnya kami sampaikan, bahwa cerita ini mengalir begitu saja sesuai dengan apa yang disampaikan oleh narasumber. Hingga tulisan ini dipublikasikan, sudah mendapatkan persetujuan dari pihak terkait.
            Sebut saja Freedy, ia merupakan seorang lulusan pada salah satu perguruan tinggi di Jakarta. Menjadi seorang pengedar apalagi pecandu barang terlarang ini, tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Hal ini dimulai ketika ia berada dilingkungan yang membawanya terjerumus kedalam obat-obatan terlarang ini. Pertama kali ia mencoba barang haram tersebut, yaitu pada tahun 2004. Berbagai jenis obat-obatan terlarang sudah pernah ia coba. Mulai dari ganja, sabu, ekstasi, obatobatan psikotropika seperti bimolit, kamlet, dan terakhir adalah tembakau gorila.
            Freedy mengaku, merasakan efek yang beragam ketika  ia mengkonsumsi tembakau jenis gorila. “Muntah, muntah itukan mabuk banget, lama kalau tidur, bisa sampai 12 jam kalau (mengkonsumsi) gorilla. Soalnya itukan parah banget sampai ke kepala bergetar,” jelas Freedy kepada Tim Investigasi Bravo.
            Efek yang ditimbulkan oleh tebakau gorila juga lebih cepat dibandingkan ganja biasa. “Bedanya sama ganja nih. Kalau ganja itu lo harus ngisep sebatang baru dapet gitingnya. Kalo gorila itu 2-3 isep udah kaya sebatang ganja. Lebih keras. Namanya juga buatan kan pakai campuran kimia. Kalau ganjakan alami.
            Ternyata, tembakau gorila juga banyak macamnya. Ada gorila biasa, hanoman, gajah dan beruang. “Ada gorilla biasa, hanoman lebih keras, ada gajah keras tapi soft, ada beruang keras. Gue ga bisa bedain sih kalau sekarang. Gue nggak ngikutin”.
            
Seluk Beluk Proses Transaksi Gorila Hingga Keuntungannya
            Jika masyarakat luas mengetahui tembakau gorila baru sekitar awal tahun 2017 lalu, tetapi Freedy sudah mengkonsumsi dan mengedarkan tembakau ini semenjak tahun 2014. Itu artinya sudah 3 tahun ia mengkonsumsi hingga mengedarkan tembakau ini.
Awal mula ia mendapatkan tembakau gorila yaitu dari seorang teman lamanya di Bali. Tidak hanya sebagai pemakai, Freedy juga berperan sebagai pengedar obat-obatan terlarang ini. “Teman lama sih waktu itu ngasih tahu. Dia punya bandar besar gitu di Bali, terus gue dioper terus. Dioper, pertama awalnya 100 bek, 100 bek yaudah gitu aja terus,” ujar Freedy ketika ditanyai dari mana ia  mendapatkan barang tersebut.
Keuntungan yang didapatkan melalui transaksi tembakau gorila, memang sangat menggiurkan. Ia bisa menerima keuntungan dua hingga 3 kali lipat harga yang ia keluarkan. Jika pada tahun 2014 ia mengeluarkan modal untuk 1 bek (5 gram) itu Rp150.000, maka ia  bisa menjualnya dengan harga Rp300.000.
Sebelumnya, pada tahun 2010, ia juga pernah menjadi pengedar ganja. Saat itu ia masih menjadi seorang siswa SMA di Bandung. Ia mengedarkan ganja tersebut kepada teman-temannya di SMA. Barangnya ia dapatkan di Jakarta. Saat itu ia membeli ganja 100 gram. Hal itu ia lakukan sampai ia akan mulai kuliah. Ketika sudah mulai kuliah, ia membeli ganja sebanyak 2 kilogram keatas. Dan ia menjualnya dengan cara pergaris. Dalam 20 kilogram itu, terdapat 20 garis. Harga 1 garisnya pada waktu itu masih Rp500.000, tetapi sekarang sudah Rp1.000.000.
“Jadi bandar ganja tuh pas 2010, masih sekolah di Bandung. Prosesnya gue ambil di Jakarta, karena Jakarta itu surganya narkoba. Jakarta tuh lo bisa dapat apa aja yang lo mau. Gue bolak balik Jakarta-Bandung. Gue ambil 100 gram, satu garis lah, nggak nyampe 1 kg. Waktu SMA, balik ke Bandung gue sebarin ke teman sekolah gue. Gitu aja terus tiap minggu. Sampe gue lulus kuliah gue mulai kiloan. Gue nggak jual kiloan, gue jualnya pergaris. Gue belinya 2 kg ke yang diatas, tapi gue jualnya pergaris. Kalau diitung-itung 2 kg itu gue bisa dapat 20 garis dan satu garisnya itu waktu itu masih 500ribu. Dijualnya 500ribu dulu, sekarang udah 1 juta”
Hampir sama dengan ganja, proses mengedarkan tembakau gorila  dimulai Freedy pada tahun 2014. Awalnya ia menghubungi orang yang berada diatasnya melalui line  atau telphon langsung. Tetapi barang tersebut dapatnya dari Bali, lalu dioper oleh JNE. Untuk mengambil barang tersebut, ia bisa bertemu langsung (COD-an) dengan pihak tersebut. Proses hingga barang tersebut sampai ditangan Freedy bisa mencapai 3 hari.
Saat ditanya mengenai modal yang ia butuhkan untuk mengedarkan tembakau gorila ini, ia menjelaskan bahwa sistem yang ia gunakan adalah tidak menggunakan modal. Jadi, setiap 2 hari ia harus transfer keatasannya. Ia juga tidak pernah mengalami masalah dalam mentransfer modal karena ia mempunyai banyak kaki tangan dibawahnya.
“Belum sih gue. Gue ga pernah macet, kaki-kaki gue banyak banget dulu,” jawab Freedy.
Pendapatan yang ia dapatkan dari transaksi tembakau gorila selama 2 hari bisa mencapai 2 juta rupiah. “Gue ngitungnya 2 hari ya, gue 2 hari biasanya bisa dapat 2 juta, bersih, masuk kantong. Gue bisa beliin hp adek gue iphone, waktu itu 2014 iphone gimana tuh,” ujar Freedy.

3 Kali Tertangkap, Seakan Tak Membuatnya Jera
            Walaupun keuntungan yang didapatkan Freedy sangat menjanjikan, tapi resiko yang dihadapinya dari bisnis transaksi barang haram ini juga sangat besar. Ia sudah 3 kali tertangkap oleh pihak yang berwajib.
            Awalnya pada tahun 2009 ketika masih SMA, ia tertangkap saat sedang menggunakan ganja di sebuah kost-kost an di Bandung bersama seorang wanita dengan terdapat bukti 2 empel seharga Rp50.000. Ternyata seorang wanita tersebut adalah orang suruhan atau cepuan polisi. Akhirnya ia dibawa ke Polwiltabes Bandung lalu diproses.  Proses yang ia jalankan tidak sampai 1 hari, karena orang tuanya datang dari Jakarta untuk menebusnya.
            ”Nggak sampai sehari sih, gue ketangkap siang, malamnya gue jam 12 mungkin bebas, itu gue ditebus, orang tua gue datang dari Jakarta. Ditebus 5 juta. Masih murah waktu itu 2009,” jelas Freedy.
            Setelah bebas kembali, Freedy tetap menjalankan bisnisnya dan kembali tertangkap pada tahun 2012. Saat itu ia tertangkap ketika membeli vapir (kertas untuk ngelinting) di sebuah supermarket. Setelah tertangkap ia ditanyai beberapa pertanyaan, sehingga rumahnya digeledah. Saat itu ia kedapatan menyimpan 2 kilogram ganja didalam rumahnya. Hingga akhirnya ia dibawa ke Polres Bekasi untuk menjalani proses. Sesampainya di kantor polisi, ia ditahan selama 5 hari lalu setelah itu ditebus lagi oleh orangtuanya.
            “Waktu itu ditebusnya mahal, 70 juta, karena banyak, terus undang-undangnya udah terbentuk. Waktu 2009 itu undang-undangnya tuh ganja belum masuk narkoba golongan A. Golongan A itu masih sabu, estesi, masih golongan B. Dan undang-undang itu keluar 2009 akhir. Dan 2012 itu narkoba ganja itu udah jadi narkoba nomor 1, udah ngalahin sabu dan estesi. 70 juta gue ketebus,” jelas Freedy saat menceritakan proses tertangkapnya yang kedua.
            Setelah bebas untuk yang kedua kalinya, seakan tidak jera, Freedy tetap menjalankan bisnis tersebut. Ia kembali tertangkap pada tahun 2015 di daerah Menteng Atas di rumah seorang temannya yang saat itu juga sudah ditangkap oleh polisi. Freedy dijebak sehingga saat melakukan pesanan melalui chat ia masih mengira bahwa yang memesan itu adalah temannya. Ternyata itu adalah polisi. Sekitar 5 hari ia ditahan di Polres Jakarta Selatan dengan barang bukti ganja setengan kilo dan gorila 200 bek. Ia menjalani proses selama 2 hari dan ditebus 125 juta.
            “Barang buktinya itu ganja setengah kilo, gue lupa itu setengah kilo atau satu kilo. Kalau gorilla 200 bek. Waktu itu gorillanya belum ada pasalnya. Polisinya kaget ini apaan. Tadinya boleh pulang, ya gapapa tapi diberatin di ganjanya. Itu gue menjalani proses 2 hari, Ditebus lagi 125t juta,” ujar Freedy menjelaskan proses tertangkapnya yang ketiga.

Berhenti Menjadi Pengedar, Tetapi Masih Menjadi Pemakai dengan Alasan Lingkungan Belum Positif
             Setelah tertangkap yang ketiga kalinya, Freedy merasa jera dan akhirnya memutuskan untuk berhenti menjadi pengedar. Tetapi hingga saat ini ia masih menjadi pemakai. Ia mengungkapkan alasannya masih belum bisa berhenti mengkonsumsi barang haram tersebut karena kondisi lingkungannya belum sepenuhna positif.
            ”Lingkungan gue belum sepenuhnya positif. Kalau gue sih bener, itu pengaruh lingkungan. Sebenarnya nggak ada barang-barang itu lo nggak akan mati. Kalau nggak konsumsi barang-barang itu lo nggak akan mati. Ganja dan Gorilla itu nggak tergantungan kok. Yang tergantungan itu seperti tab, yang suntik-suntik. Ganja dan gorilla nggak tergantungan, Ya kaya gitu aja sih bukan ketergantungan sih, lingkungan. Jadi sekali lagi menurut gue lingkungan”.
            Menurut Freedy, jika ia harus berhenti menggunakan narkoba, ia harus pindah ke lingkungan yang tidak ada narkobanya. Menurutnya, untuk daerah Jabodetabek, tidak ada daerah yang bersih dari narkoba.
            Menutup pembicaraan dengan Freedy, ia menyampaikan kepada Tim Bravo bahwa jangan sampai terlibat kedalam pergaulan yang salah. Didalam dunia narkoba, tidak ada yang namanya teman, karena ia pernah beberapa kali tertangkap gara-gara teman.
            ”Nakal gapapa, tapi jangan nakal-nakal banget, jangan sampai jadi bandarlah kaya gue, itu aja sih paling apa ya itu doang sih paling. Jaga diri. Hati-hati kalau milih teman. Nakal nakal aja, tapi jangan nakal-nakal banget. Terus di narkoba itu nggak ada yang namanya teman. Temen itu penyakit. Gue pernah berapa kali ketangkep karena temen,” ujar Freedy.

Ulasan Singkat Pengedar Tembakau Gorila Dikalangan Remaja
Tembakau cap Gorilla yang marak di pasaran

Menurut Kabag Humas BNN Sumirat Dwiyanto pada 19 Januari 2015 dalam acara Primetime Talk di Beritasatu TV, serbuan mafia narkoba ke wilayah Indonesia mencatat transaksi barang haram itu sekitar total 48 triliun. Transaksi yang fantastis. Bandingkan dengan keseluruhan transaksi yang terjadi di ASEAN yang sejumlah 160 triliun. Para mafia narkoba yang berasal dari Indonesia sendiri, juga Malaysia, Australia, Iran, Perancis, Taiwan, Nigeria dan lain-lain. Para mafia tersebut berpesta pora dengan total peredaran sebesar 30% ada hanya di Indonesia.
Para mafia itu berpikir bahwa vonis hukuman di Indonesia adalah hukuman yang ringan dan seumur hidup, hukuman mati di Indonesia hanya di atas kertas. Hukuman mati hanya berlaku untuk kejahatan teroris dan pembunuhan berencana. Bahkan di dalam penjara pun para mafia yang tertangkap dan diputus hukuman mati pun masih bisa mengendalikan dan menjalankan bisnis narkoba. Tak ada eksekusi mati di Indonesia.
Selain dapat  mewawancarai Freedy secara langsung, Tim Investigasi Bravo juga dapat mengikuti proses mengedarkan tembakau gorila oleh pengedarnya. Sebut saja Roy, seorang mahasiswa pada salah  satu perguruan tinggi swasta di Jakarta bersedia untuk kami ikuti saat mengedarkan  tembakau gorila. Tapi, Roy tidak bersedia untuk kami wawancarai dengan alasan tertentu.
            Proses transaksi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Freedy pada cerita sebelumnya. Roy mendapatkan pesanan dari temannya melalui telphon. Lalu mereka menentukan tempat untuk bertemu agar Roy dapat memberikan barangnya. Biasanya tempat yang dipilih adalah tempat-tempat yang sepi, tidak banyak orang berlalu lalang. Hal ini dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan.
            Setelah Roy dan  si pemesan bertemu, mereka melakukan percakapan seperti biasa dulu, sekedar basa basi. Tidak lama setelah itu, Roy mengeluarkan barang tersebut dari sakunya dan memberikan kepada si pemesan. Setelah itu mereka sama-sama pergi. pertemuan tersebut dilakukan sesingkat mungkin agar tidak ada yang curiga dengan pertemuan yang mereka lakukan. Biasanya kebanyakan dari yang memesan kepada Roy adalah teman-teman nya di kampus atau teman satu tongkrongan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Peliputan Investigasi Tembakau cap Gorilla #3

Penjelasan Badan Narkotika Nasional mengenai Narkoba Indonesia Darurat Narkoba Selain mence...