Menyimak Cerita Mantan Pengedar dan Pemakai Narkoba
Terkait topik
investigasi yang kami angkat, maka melalui tulisan ini akan kami sampaikan
sebuah cerita yang bersumber langsung dari seorang pecandu sekaligus mantan
pengedar narkoba yang sudah berbagi ceritanya kepada kami pada Senin, 10 Juli 2017
lalu. Sebelumnya kami sampaikan, bahwa cerita ini mengalir begitu saja sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh narasumber. Hingga tulisan ini dipublikasikan,
sudah mendapatkan persetujuan dari pihak terkait.
Sebut saja Freedy, ia merupakan seorang lulusan pada salah satu perguruan
tinggi di Jakarta. Menjadi seorang pengedar apalagi pecandu barang terlarang
ini, tak pernah terbayangkan olehnya sebelumnya. Hal ini dimulai ketika ia
berada dilingkungan yang membawanya terjerumus kedalam obat-obatan terlarang
ini. Pertama kali ia mencoba barang haram tersebut, yaitu pada tahun 2004.
Berbagai jenis obat-obatan terlarang sudah pernah ia coba. Mulai dari ganja,
sabu, ekstasi, obatobatan psikotropika seperti bimolit, kamlet, dan terakhir
adalah tembakau gorila.
Freedy mengaku, merasakan efek yang beragam ketika ia mengkonsumsi
tembakau jenis gorila. “Muntah, muntah itukan mabuk banget,
lama kalau tidur, bisa sampai 12 jam kalau (mengkonsumsi) gorilla. Soalnya
itukan parah banget sampai ke kepala bergetar,” jelas Freedy kepada Tim
Investigasi Bravo.
Efek yang ditimbulkan oleh tebakau gorila juga lebih cepat dibandingkan ganja
biasa. “Bedanya sama ganja nih. Kalau ganja itu lo harus ngisep sebatang
baru dapet gitingnya. Kalo gorila itu 2-3 isep udah kaya sebatang ganja.
Lebih keras. Namanya juga buatan kan pakai campuran kimia. Kalau ganjakan
alami.
Ternyata, tembakau gorila juga banyak macamnya. Ada gorila biasa, hanoman, gajah
dan beruang. “Ada gorilla biasa, hanoman lebih keras, ada gajah keras tapi
soft, ada beruang keras. Gue ga bisa bedain sih kalau sekarang. Gue nggak
ngikutin”.
Seluk Beluk
Proses Transaksi Gorila Hingga Keuntungannya
Jika masyarakat luas mengetahui tembakau gorila baru sekitar awal tahun 2017
lalu, tetapi Freedy sudah mengkonsumsi dan mengedarkan tembakau ini semenjak
tahun 2014. Itu artinya sudah 3 tahun ia mengkonsumsi hingga mengedarkan
tembakau ini.
Awal mula ia
mendapatkan tembakau gorila yaitu dari seorang teman lamanya di Bali. Tidak
hanya sebagai pemakai, Freedy juga berperan sebagai pengedar obat-obatan
terlarang ini. “Teman lama sih waktu itu ngasih tahu. Dia punya
bandar besar gitu di Bali, terus gue dioper terus. Dioper,
pertama awalnya 100 bek, 100 bek yaudah gitu aja terus,” ujar
Freedy ketika ditanyai dari mana ia mendapatkan barang tersebut.
Keuntungan yang
didapatkan melalui transaksi tembakau gorila, memang sangat menggiurkan. Ia
bisa menerima keuntungan dua hingga 3 kali lipat harga yang ia keluarkan. Jika
pada tahun 2014 ia mengeluarkan modal untuk 1 bek (5 gram) itu Rp150.000, maka
ia bisa menjualnya dengan harga Rp300.000.
Sebelumnya,
pada tahun 2010, ia juga pernah menjadi pengedar ganja. Saat itu ia masih
menjadi seorang siswa SMA di Bandung. Ia mengedarkan ganja tersebut kepada
teman-temannya di SMA. Barangnya ia dapatkan di Jakarta. Saat itu ia membeli
ganja 100 gram. Hal itu ia lakukan sampai ia akan mulai kuliah. Ketika sudah
mulai kuliah, ia membeli ganja sebanyak 2 kilogram keatas. Dan ia menjualnya
dengan cara pergaris. Dalam 20 kilogram itu, terdapat 20 garis. Harga 1
garisnya pada waktu itu masih Rp500.000, tetapi sekarang sudah Rp1.000.000.
“Jadi bandar
ganja tuh pas 2010, masih sekolah di Bandung. Prosesnya gue ambil di
Jakarta, karena Jakarta itu surganya narkoba. Jakarta tuh lo bisa dapat apa aja
yang lo mau. Gue bolak balik Jakarta-Bandung. Gue ambil 100 gram,
satu garis lah, nggak nyampe 1 kg. Waktu SMA, balik ke Bandung gue
sebarin ke teman sekolah gue. Gitu aja terus tiap minggu. Sampe gue
lulus kuliah gue mulai kiloan. Gue nggak jual kiloan, gue
jualnya pergaris. Gue belinya 2 kg ke yang diatas, tapi gue
jualnya pergaris. Kalau diitung-itung 2 kg itu gue bisa dapat 20 garis
dan satu garisnya itu waktu itu masih 500ribu. Dijualnya 500ribu dulu, sekarang
udah 1 juta”
Hampir sama
dengan ganja, proses mengedarkan tembakau gorila dimulai Freedy pada
tahun 2014. Awalnya ia menghubungi orang yang berada diatasnya melalui line atau
telphon langsung. Tetapi barang tersebut dapatnya dari Bali, lalu dioper oleh
JNE. Untuk mengambil barang tersebut, ia bisa bertemu langsung (COD-an) dengan
pihak tersebut. Proses hingga barang tersebut sampai ditangan Freedy bisa
mencapai 3 hari.
Saat ditanya
mengenai modal yang ia butuhkan untuk mengedarkan tembakau gorila ini, ia
menjelaskan bahwa sistem yang ia gunakan adalah tidak menggunakan modal. Jadi,
setiap 2 hari ia harus transfer keatasannya. Ia juga tidak pernah mengalami
masalah dalam mentransfer modal karena ia mempunyai banyak kaki tangan
dibawahnya.
“Belum sih gue.
Gue ga pernah macet, kaki-kaki gue banyak banget dulu,” jawab Freedy.
Pendapatan yang
ia dapatkan dari transaksi tembakau gorila selama 2 hari bisa mencapai 2 juta
rupiah. “Gue ngitungnya 2 hari ya, gue 2 hari biasanya
bisa dapat 2 juta, bersih, masuk kantong. Gue bisa beliin hp adek gue
iphone, waktu itu 2014 iphone gimana tuh,” ujar Freedy.
3 Kali
Tertangkap, Seakan Tak Membuatnya Jera
Walaupun keuntungan yang didapatkan Freedy sangat menjanjikan, tapi resiko
yang dihadapinya dari bisnis transaksi barang haram ini juga sangat besar. Ia
sudah 3 kali tertangkap oleh pihak yang berwajib.
Awalnya pada tahun 2009 ketika masih SMA, ia tertangkap saat sedang menggunakan
ganja di sebuah kost-kost an di Bandung bersama seorang wanita dengan terdapat
bukti 2 empel seharga Rp50.000. Ternyata seorang wanita tersebut adalah orang
suruhan atau cepuan polisi. Akhirnya ia dibawa ke Polwiltabes Bandung
lalu diproses. Proses yang ia jalankan tidak sampai 1 hari, karena orang
tuanya datang dari Jakarta untuk menebusnya.
”Nggak sampai sehari sih, gue ketangkap siang, malamnya gue
jam 12 mungkin bebas, itu gue ditebus, orang tua gue datang dari
Jakarta. Ditebus 5 juta. Masih murah waktu itu 2009,” jelas Freedy.
Setelah bebas kembali, Freedy tetap menjalankan bisnisnya dan kembali
tertangkap pada tahun 2012. Saat itu ia tertangkap ketika membeli vapir (kertas
untuk ngelinting) di sebuah supermarket. Setelah tertangkap ia ditanyai
beberapa pertanyaan, sehingga rumahnya digeledah. Saat itu ia kedapatan
menyimpan 2 kilogram ganja didalam rumahnya. Hingga akhirnya ia dibawa ke
Polres Bekasi untuk menjalani proses. Sesampainya di kantor polisi, ia ditahan
selama 5 hari lalu setelah itu ditebus lagi oleh orangtuanya.
“Waktu itu ditebusnya mahal, 70 juta, karena banyak, terus undang-undangnya udah
terbentuk. Waktu 2009 itu undang-undangnya tuh ganja belum masuk narkoba
golongan A. Golongan A itu masih sabu, estesi, masih golongan B. Dan
undang-undang itu keluar 2009 akhir. Dan 2012 itu narkoba ganja itu udah jadi
narkoba nomor 1, udah ngalahin sabu dan estesi. 70 juta gue ketebus,”
jelas Freedy saat menceritakan proses tertangkapnya yang kedua.
Setelah bebas untuk yang kedua kalinya, seakan tidak jera, Freedy tetap
menjalankan bisnis tersebut. Ia kembali tertangkap pada tahun 2015 di daerah
Menteng Atas di rumah seorang temannya yang saat itu juga sudah ditangkap oleh
polisi. Freedy dijebak sehingga saat melakukan pesanan melalui chat ia
masih mengira bahwa yang memesan itu adalah temannya. Ternyata itu adalah
polisi. Sekitar 5 hari ia ditahan di Polres Jakarta Selatan dengan barang bukti
ganja setengan kilo dan gorila 200 bek. Ia menjalani proses selama 2 hari dan
ditebus 125 juta.
“Barang buktinya itu ganja setengah kilo, gue lupa itu setengah kilo
atau satu kilo. Kalau gorilla 200 bek. Waktu itu gorillanya belum ada pasalnya.
Polisinya kaget ini apaan. Tadinya boleh pulang, ya gapapa tapi diberatin di
ganjanya. Itu gue menjalani proses 2 hari, Ditebus lagi 125t juta,” ujar Freedy
menjelaskan proses tertangkapnya yang ketiga.
Berhenti
Menjadi Pengedar, Tetapi Masih Menjadi Pemakai dengan Alasan Lingkungan Belum
Positif
Setelah tertangkap yang ketiga kalinya, Freedy merasa jera dan akhirnya
memutuskan untuk berhenti menjadi pengedar. Tetapi hingga saat ini ia masih
menjadi pemakai. Ia mengungkapkan alasannya masih belum bisa berhenti
mengkonsumsi barang haram tersebut karena kondisi lingkungannya belum sepenuhna
positif.
”Lingkungan gue belum sepenuhnya positif. Kalau gue sih
bener, itu pengaruh lingkungan. Sebenarnya nggak ada barang-barang itu lo
nggak akan mati. Kalau nggak konsumsi barang-barang itu lo
nggak akan mati. Ganja dan Gorilla itu nggak tergantungan kok.
Yang tergantungan itu seperti tab, yang suntik-suntik. Ganja dan gorilla nggak
tergantungan, Ya kaya gitu aja sih bukan ketergantungan sih,
lingkungan. Jadi sekali lagi menurut gue lingkungan”.
Menurut Freedy, jika ia harus berhenti menggunakan narkoba, ia harus pindah ke
lingkungan yang tidak ada narkobanya. Menurutnya, untuk daerah Jabodetabek,
tidak ada daerah yang bersih dari narkoba.
Menutup pembicaraan dengan Freedy, ia menyampaikan kepada Tim Bravo bahwa
jangan sampai terlibat kedalam pergaulan yang salah. Didalam dunia narkoba,
tidak ada yang namanya teman, karena ia pernah beberapa kali tertangkap
gara-gara teman.
”Nakal gapapa, tapi jangan nakal-nakal banget, jangan sampai jadi bandarlah
kaya gue, itu aja sih paling apa ya itu doang sih paling.
Jaga diri. Hati-hati kalau milih teman. Nakal nakal aja, tapi jangan
nakal-nakal banget. Terus di narkoba itu nggak ada yang namanya
teman. Temen itu penyakit. Gue pernah berapa kali ketangkep karena
temen,” ujar Freedy.
Ulasan Singkat
Pengedar Tembakau Gorila Dikalangan Remaja
Tembakau cap Gorilla yang marak di pasaran |
Menurut
Kabag Humas BNN Sumirat Dwiyanto pada 19 Januari 2015 dalam acara Primetime
Talk di Beritasatu TV, serbuan mafia narkoba ke wilayah Indonesia mencatat
transaksi barang haram itu sekitar total 48 triliun. Transaksi yang fantastis.
Bandingkan dengan keseluruhan transaksi yang terjadi di ASEAN yang sejumlah 160
triliun. Para mafia narkoba yang berasal dari Indonesia sendiri, juga Malaysia,
Australia, Iran, Perancis, Taiwan, Nigeria dan lain-lain. Para mafia tersebut
berpesta pora dengan total peredaran sebesar 30% ada hanya di Indonesia.
Para
mafia itu berpikir bahwa vonis hukuman di Indonesia adalah hukuman yang ringan
dan seumur hidup, hukuman mati di Indonesia hanya di atas kertas. Hukuman mati
hanya berlaku untuk kejahatan teroris dan pembunuhan berencana. Bahkan di dalam
penjara pun para mafia yang tertangkap dan diputus hukuman mati pun masih bisa
mengendalikan dan menjalankan bisnis narkoba. Tak ada eksekusi mati di
Indonesia.
Selain dapat mewawancarai Freedy secara langsung,
Tim Investigasi Bravo juga dapat mengikuti proses mengedarkan tembakau gorila
oleh pengedarnya. Sebut saja Roy, seorang mahasiswa pada salah satu
perguruan tinggi swasta di Jakarta bersedia untuk kami ikuti saat
mengedarkan tembakau gorila. Tapi, Roy tidak bersedia untuk kami
wawancarai dengan alasan tertentu.
Proses transaksi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang diceritakan
oleh Freedy pada cerita sebelumnya. Roy mendapatkan pesanan dari temannya
melalui telphon. Lalu mereka menentukan tempat untuk bertemu agar Roy dapat
memberikan barangnya. Biasanya tempat yang dipilih adalah tempat-tempat yang
sepi, tidak banyak orang berlalu lalang. Hal ini dilakukan agar tidak
menimbulkan kecurigaan.
Setelah Roy dan si pemesan bertemu, mereka melakukan percakapan seperti
biasa dulu, sekedar basa basi. Tidak lama setelah itu, Roy mengeluarkan barang
tersebut dari sakunya dan memberikan kepada si pemesan. Setelah itu mereka
sama-sama pergi. pertemuan tersebut dilakukan sesingkat mungkin agar tidak ada
yang curiga dengan pertemuan yang mereka lakukan. Biasanya
kebanyakan dari yang memesan kepada Roy adalah teman-teman nya di kampus atau
teman satu tongkrongan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar